Selamat Datang

SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERBAGI

Kamis, 10 Maret 2011

Raja yang menjadi tukang kebun

Ibrahim bin Adham adalah seorang raja yang sangat besar kekuasaannya. Oleh karena kehidupan yang mewah dan serba cukup tidak membawa ketenangan kepada jiwanya, baginda akhirnya memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa dengan mengambil upah sebagai tukang kebun. Kebun yang dijaga oleh baginda itu ada banyak pokok-pokok delima. Ia menjaga kebun itu dengan patuh dan rajin. Suatu hari datanglah tuan kebun itu dan meminta Ibrahim membawakan sebiji delima yang masak lagi manis kepadanya. Ibrahim pun segera ke pokok-pokok delima untuk mencari buah delima yang paling masak. Saat tuannya merasakan delima tersebut, air mukanya berubah. Kemudian berkata: "Wahai Ibrahim, tolong bawakan kepada aku sebiji delima yang lebih manis."
Sekali lagi Ibrahim pergi mencari buah delima yang lain tanpa mengetahiu mengapa tuannya itu menyuruh dia membawakan sebiji lagi. Setelah buah yang diberikan kepada tuannya itu dimakan, dengan spontan buah itu dibuang oleh tuannya itu. Oleh karena terlalu marah sebab buah yang dimakannya itu masih masam, ia pun berkata dengan suara yang keras: "Wahai Ibrahim! Heran sekali aku melihat engkau. Sudah begini lama engkau menjaga kebunku, tidakkah engkau tahu yang masam dan manis?"
Lalu jawab Ibrahim dengan suara yang lemah dan sopan: "Tuan, bukankah saya ini diamanahkan untuk menjaga kebun supaya senantiasa subur dengan buah-buahan, tetapi tuan tidak memberi izin kepada saya menikmati buahnya."
Betapa terkejutnya tuannya itu, saat mendengar jawaban tersebut. Tidak terduga sama sekali akan besarnya sifat amanah yang ada pada tukang kebunnya itu.

********
Sahabat, seorang pemimpin amat berbeda dengan pejabat. Seorang yang memiliki jiwa pemimpin, dimanapun dan bagaimanapun, dia selalu memegang teguh amanat yang diberikan kepadanya. Seorang pemimpin tak pernah kehilangan sifat baiknya meskipun dia menjadi gelandangan sekalipun. Alangkah indahnya negeri ini, apabila memiliki manusia-manusia yang berjiwa pemimpin, bukan para pemimpi yang berebut posisi untuk menjadi pejabat. Saling sikut, saling cela, bahkan ketika menjabat, amanatpun tak pernah bisa dia jaga.

Rachmat Muttaqin

Gubernur dan Wanita Buruk Rupa

Seorang Gubernur pada zaman Khalifah Al-Mahdi, pada suatu hari mengumpulkan sejumlah tetangganya dan menaburkan uang dinar di hadapan mereka. Semuanya saling berebutan memunguti uang itu dengan suka cita. Kecuali seorang wanita kumal, berkulit hitam dan berwajah jelek. Ia terlihat diam saja tidak bergerak, sambil memandangi para tetangganya yang sebenarnya lebih kaya dari dirinya, tetapi berbuat seolah-olah mereka orang-orang yang kekurangan harta. Dengan keheranan sang Gubernur bertanya, "Mengapa engkau tidak ikut memunguti uang dinar itu seperti tetangga engkau?"
Wanita bermuka buruk itu menjawab, "Sebab yang mereka cari uang dinar sebagai bekal dunia. Sedangkan yang saya perlukan bukan dinar melainkan bekal akhirat."
"Maksud engkau?" tanya sang Gubernur mulai tertarik akan kepribadian perempuan itu.
"Maksud saya, uang dunia sudah cukup. Yang masih saya perlukan adalah bekal akhirat, yaitu sholat, puasa dan zikir. Sebab perjalanan di dunia amat pendek dibanding dengan pengembaraan di akhirat yang panjang dan kekal." Dengan jawaban seperti itu, sang Gubernur merasa telah disindir tajam. Ia insaf, dirinya selama ini hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya melimpah ruah, tak kan habis dimakan keluarganya sampai tujuh turunan. Sedangkan umurnya sudah di atas setengah abad, dan Malaikat Izrail sudah mengintainya. Akhirnya sang Gubernur jatuh cinta kepada perempuan lusuh yang berparas hanya lebih bagus sedikit dari monyet itu. Kabar itu tersebar ke segenap pelosok negeri. Orang-orang besar tak habis fikir, bagaimana seorang gubernur bisa menaruh hati kepada perempuan jelata bertampang jelek itu. Maka pada suatu kesempatan, diundanglah mereka oleh Gubernur dalam sebuah pesta mewah. Juga para tetangga, termasuk wanita yang membuat heboh tadi. Kepada mereka diberikan gelas crystal yang bertahtakan permata, berisi cairan anggur segar. Lantas, Gubernur memerintahkan agar mereka membanting gelas masing-masing. Semuanya terbengong dan tidak ada yang mau menuruti perintah itu. Namun, tiba-tiba terdengar bunyi berdenting, disangka ada orang gila yang melaksanakan perintah itu. Itulah si perempuan berwajah buruk. Di kakinya pecahan gelas berhamburan sampai semua orang tampak terkejut dan keheranan. Gubernur lalu bertanya, "Mengapa kaubanting gelas itu?"
Tanpa takut wanita itu menjawab, "Ada beberapa sebab. Pertama, dengan memecahkan gelas ini berarti berkurang kekayaan Tuan. Tetapi, menurut saya hal itu lebih baik, daripada wibawa Tuan berkurang lantaran perintah Tuan tidak dipatuhi." Gubernur terkesima. Para tamunya juga kagum akan jawaban yang masuk akal itu. Sebab lainnya?" tanya Gubernur.
Wanita itu menjawab, "Kedua, saya hanya menaati perintah Allah. Sebab di dalam Al-Quran, Allah memerintahkan agar kita mematuhi Allah, Utusan-Nya, dan para penguasa. Sedangkan Tuan adalah penguasa, atau ulil amri, maka dengan segala resikonya saya laksanakan perintah Tuan." Gubernur kian takjub. Demikian pula para tamunya. "Masih ada sebab lain?" Perempuan itu mengangguk dan berkata, "Ketiga, dengan saya memecahkan gelas itu, orang-orang akan menganggap saya gila. Namun, hal itu lebih baik buat saya. Biarlah saya dicap gila daripada tidak melakukan perintah Gubernurnya, yang berarti saya sudah berbuat durhaka. Tuduhan saya gila, akan saya terima dengan lapang dada daripada saya dituduh durhaka kepada penguasa saya. Itu lebih berat buat saya." Maka ketika kemudian Gubernur yang telah ditinggal mati oleh isterinya alias menduda itu melamar lalu menikahi perempuan bertampang jelek dan hitam legam itu, semua yang mendengar bahkan berbalik sangat gembira karena Gubernur mendapat jodoh seorang wanita yang tidak saja taat kepada suami, tetapi juga taat kepada gubernurnya, kepada Nabinya, dan kepada Tuhannya.

**********
Nah sahabat, kedamaian itu seringkali muncul saat keikhlasan untuk saling menghormati di antara kita begitu kuat. Tak peduli apakah dia orang miskin, buruk rupa, bawahan kita di kantor, atau siapa saja dengan kita yang mungkin lebih tampan, lebih kaya, atasan dan sebagainya, atau malah sebaliknya kita yang berada di bawah. Sesungguhnyalah, hal itu menjadi pelajaran yang berharga.
Selain itu, krisis kepemimpinan di negeri ini, salah satunya adalah tak mampunya orang-orang yang berkuasa untuk berkaca diri. Seorang pemimpin yang amanah sesungguhnya wajib kita ikuti perintahnya. Apa jadinya jika para pemimpin di negeri ini adalah orang-orang yang zolim, khianat terhadap kepercayaan rakyatnya, sehingga kita sebagai masyarakat menjadi durhaka dan melawan pemimpinnya. Mesir, Tunisia, dan beberapa negara di Timur tengah mulai bergolak, akankah itu menular pada kita. Cukup rasanya, revolusi 1945, revolusi 1966, dan revolusi 1998 menjadi pelajaran untuk kita semua.

R. Muttaqin

Darurat Beragama

Tiga Jamaah Ahmadiyah Indonesia tewas dibunuh dan enam luka parah akibat mempertahankan keyakinan beragamanya. Mereka diserang. Mereka bertahan. Mereka dibunuh. Mereka tewas. Mereka berteriak. Teriakan mereka satu Tuhan dengan takbir para pembunuh. Inilah tragedi baru yang mewarnai negeri ini.

Bhineka Tunggal Ika telah ditahbiskan sebagai dasar berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika kebhinekaan telah gagal ditegakkan, dan pembunuhan terus terjadi, negara macam apa kita ini. Dasar negara ini telah roboh.

Lengkap sudah keterpurukan kita sebagai bangsa, ketika masalah sangat mendasar - fundamental- tak bisa ditegakkan. Kekuasaan macam apa yang sedang dipraktikkan di negeri ini. Pemerintahan macam apa yang sedang dijalankan sehingga berulang kali nyawa warga Ahmadiyah terhunus pedang umat beragama lainnya dan nyawa mereka meregang: tewas bersimbah darah.

Peristiwa penyerangan itu terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Minggu pagi (6/2). Jurubicara Ahmadiyah, Zafrullah Ahmad Pontoh, menyebut ketiga jamaahnya
'' mati syahid karena berjuang mempertahankan agama.''

Peristiwa ini terus terulang dan membuat air mata tangisan Ibu Pertiwi sudah lebih dari kering. Tetapi darah terus mengucur, nyawa beterbangan, kemarahan seperti bara api, yang terus membakar. Sebagai warga negara, kita ingin mengadukan masalah ini kepada kepala negara. Dialah yang bertanggung jawab melindungi keamanan beragama dan melindungi keselamatan rakyatnya.

Tetapi bibir kita sudah kering melaporkannya, kerongkongan kita sudah nyaris putus berteriak minta pertolongan, tetapi nyawa rakyat terus bergelimpangan. Seruan bahkan caci maki tokoh agama agar kejadian ini diatasi dengan sikap tegas juga tak menuai hasil. Toh penyerangan kembali terulang.

Kebenaran agama seolah menjadi malapetaka dan malapetaka tak seharusnya kita imani. Negara juga tak kunjung hadir menyelesaikan masalah. Ke mana lagi kita mencari pertolongan?
Ke mana lagi kita akan beriman jika keimanan menjadi sumber permusuhan.
Inilah darurat beragama ketika agama justru menjadi pedang terhunus yang mematikan kemanusiaan.

Ahmadiyah sudah menyatakan diri beriman kepada Allah dan Rasulullah Muhammad. Kepercayaan dan ikrar yang nyaris sama dengan keimanan para penyerang. Mau apa lagi? Apalagi yang dipersoalkan. Apalagi yang membuat mereka, para pembunuh itu, mengecam, menyerang dan meniadakan.

Kita perlu presiden yang tak cuma sekadar prihatin melihat peristiwa ini. Kita juga tak perlu kepala negara yang rapat dan menginstruksikan pengusutan dan proses hukum. Kita hanya memerlukan presiden yang tegas bersikap bahwa Ahmadiyah adalah manusia seperti kita. Ahmadiyah yang beriman sama dengan keimanan para pembunuh. Jika masih ada yang menyerangnya, presiden yang kita perlukan adalah presiden yang bisa menangkap para pembunuh, menahan seluruh pihak dan dalang intelektualnya ke penjara dan mengumumkan kepada rakyat bahwa negara ini adalah negara hukum. Siapa pun yang tidak tunduk pada hukum, negara akan berhadapan dengan mereka sekarang dan selama-lamanya. Siapa pun yang mengganggu dan membunuh warga Ahmadiyah sama halnya mengganggu dan membunuh presiden dan siapapun yang membunuh presiden akan mendapatkan hukuman yang berat dan tak termaafkan.

Kita perlu presiden yang berdiri tegas, kokoh seperti batu cadas untuk melindungi setiap nyawa warga negaranya. Kita perlu presiden yang bersuara lantang mengultimatum para penyerang dan pembunuh yang datang mengatasnamakan kebenaran untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Jika tidak ada presiden seperti ini sekarang, kita tidak akan tinggal diam. Kita berhak menggantinya dan mendapatkan pengganti yang lebih baik yang bisa memenuhi harapan rakyatnya.

(***)

Rabu, 09 Februari 2011

Bingkai Mimpi

Malam yang kian merayap
Menjerat sejuta rindu menuju pagi
Menjungkirkan rasio kemanusiaan
Pada tajamnya angin yang berdesir
Perlahan di pucuk malam yang rindang
Menyihir sepi jadi sebuah pesta
Dalam negeri khayal yang tentram

Senyum itu menebar
Menumbuhkan gelora kasih
Tanpa batas ataupun sebuah tendensi
Saat gejolak jiwa menyapu alam
Membenamkan segala benci dan dendam
Mengubur berita pahit
Dan melemparnya ke lorong waktu

Ku nyanyikan bait-bait penuh filsafat
Dari seorang penyanyi yang ku puja
Sebuah lirik dalam bingkai mimpi
Yang oleh hening dibawa pergi
Ke dalam kamar hati seorang bidadari
Yang mungkin sedang dibuai mimpi
Sambil memeluk cinta sejati

Surabaya, Juni 1996

Lebaran Mencekam

Tapakku tercecer satu-satu
Dalam takut yang mencekam
Keharuan menggumpal
Alirkan butir bening di kelopak mata

Meski namaMu diagungkan
Gemuruh dada goncangkan jiwa
Hari raya semestinya penuh makna
Tapi laras senjata di ujung hidung
Bibirku bergetar… menyebutMu
Tapi tanganku berkeringat memeluk senjata
Hari penuh maaf jadi kegelisahan yang sangat
Tapi hatiku tetap tegar berdiri shalat

Perlahan langit jingga menjadi terang
Waktu dhuha yang paling mencekam
Idul Fitri di tengah perang
Yang tak pernah aku lupakan

Same, Timor Timur, Januari 1996

Bukan Aku Tak Sayang Ayah…

Kabar itu seperti petir menggelegar di jantungku
Terngiang semua harap dan petuahmu
Lalu ku terjerembab dalam kegalauan

Ayah…
Kenapa kau pergi
Saat medali kebanggaanku siap ku kalungkan

Ayah…
Ku baru membuat rencana
Akan mengajakmu keliling Surabaya

Saat ku mendekat tanah basah di pusaramu
Ada seseorang berbisik
Bahwa engkau pergi dengan senyuman

Ayah…
Ku yakin bekalmu amat banyak
Menghadaplah padaNya dengan kebanggaan
Karena aku juga bangga jadi anakmu

Kini ku hanya bisa menancapkan sebatang kemboja
Agar kami bisa bersimpuh berdoa
Meski hanya jasad yang kami kunjungi
Tapi ku yakin engkau selalu ada di hati

Maafkan aku tak bisa menunggu di saat terakhirmu
Tapi aku bahagia pernah merawatmu dalam sakit
Bukan aku tak sayang padamu
Jika aku seorang yang tak dapat mengantarmu
Ke tempat persemayamanmu

Surabaya, Juni 1997

Untukmu Ibu…

Betapa mulianya hatimu
Mengunjungi hatiku dengan doamu
Betapa kasih sayangmu
Menjadi penentram hidupku

Ibu…
Ketabahanmu sekokoh gunung
Setiap problema
Kau anggap ujianNya untuk menjadi sempurna

Meski kini kau jauh
Seakan kau tetap di depan mataku
Memelukku dengan cintamu
Menuntunku seberangi lautan hidup

Ibu…
Hanya maaf belum memberimu bangga
Hanya air mata persembahan ananda
Aku belum jadi apa-apa

Ibu…
Terima kasihku mungkin belum cukup
Tapi hanya itu yang ku punya
Selain semangat hidup karena doamu

Dili, Januari 1996

Entri Populer