Selamat Datang

SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERBAGI

Selasa, 25 Januari 2011

Belajar Berempati dan Berbagi

Menapaki perjalanan hidup di tahun 2010, banyak hal aku catat. tawa lepas, senyum getir, tangis mengisak, sampai galau hati yang menyesakkan. Warna-warni suasana hati menjadi lukisan yang terus menempel di dinding pikiran ini. Banyak hal yang aku dapat di tahun ini salah satunya adalah belajar berempati dan berbagi

Pertama, pelajaran tentang berempati.

Bangsa ini hampir setiap tahun sejak runtuhnya jati diri sebagai sebuah bangsa selalu mengalami musibah yang cukup bahkan sangat besar. Nyawa anak bangsa tercerabut dengan mengenaskan. Terseret tsunami, tertimpa longsoran, tertimbun lahar panas, kekeringan, kelaparan, kerusuhan, kebakaran, banjir, dan sebagainya. Banyak yang terpanggil, bahkan sangat banyak yang peduli, tapi empati yang keluar belum mampu menunjukkan hakekat sejati bahwa kita bersaudara dalam sebuah kumpulan bangsa-bangsa.

Ada menteri yang berteriak tak peduli, saat kebijakkannya ditentang orang banyak. Beberapa tahun lalu, menteri perdagangan sempat sewot sewaktu hendak menaikkan harga susu dan beras. Pernah terucap di media massa, menteri perdagangan perempuan berwajah oriental ini mengatakan "Lha wong harga susu cuma naik 15%, ndak banyak. Kalau dari harga 20 ribu kan cuma naik 3 ribu" ...hahaha...cuma 3 ribu...buat bu mentri memang gak banyak, 1 juta pun masih kecil, tapi buat rakyat miskin 3 ribu itu bisa membeli 6-7 butir telur yang bisa buat lauk 2 hari.

Ok, kembali ke tahun 2010, banjir Wasior di Papua, Tsunami di Mentawai, dan Letusan Merapi di Jogja adalah 3 bencana besar yang mewarnai negeri ini dengan tangis dan kesedihan. Lagi-lagi kita selalu salah berempati. Ramai-ramai kita menyumbang apa yang kita miliki, ikhlas memang, meski ada beberapa yang narsis muncul di layar televisi, tapi apapun, kita lupa satu hal, korban bencana tidak hanya butuh bantuan materi, tapi kecekatan dan kecepatan kita melakukan penanggulangan saat bencana datang mungkin menjadi hal yang paling dibutuhkan. Kita selalu terbentur hal2 prosedural, menunggu instruksi, menunggu ini dan itu, padahal korban bencana butuh kesegeraan. Empati menjadi kata yang selalu salah diartikan, empati amat berbeda dengan bersimpati. Seperti betapa ngototnya Mendagri meloloskan RUU keistimewaan Jogja, padahal dia tak pernah mendalami bagaimana nuansa hati dan kejiwaan orang2 jogja. Ditambah, bahwa Jogja masih dalam suasana duka. Teringat sebuah tulisan yang pernah dimuat di Harian Republika tahun 2005. (Adalah Abubakar, seorang siswa SD, anak konglomerat yang entah keturunan ke berapa, karena dari buyutnya memang sudah menjadi saudagar kaya raya. Dia selalu diantar jemput bila ke sekolah dengan mobil mewah yang dikemudikan sopir khusus buat dirinya. Pada suatu hari, guru bahasa di kelasnya yang berasal dari kelas menengah, meminta semua murid di kelas membuat sebuah cerita (pelajaran mengarang) tentang kehidupan orang miskin). Dengan penuh semangat dan hati yang tulus, Abubakar memulai ceritanya "Pak Hanif adalah orang miskin, rumahnya hanya dua lantai, kolam renang di rumah Pak Hanif hanya sebulan sekali dibersihkan oleh tukang kebunnya yang sederhana, kesederhanaannya tampak dari handphone yang dia miliki. Pembantu di rumah Pak Hanifpun cuma 2 orang. Handphone para pembantunyapun model lama yang hanya berfitur biasa tanpa 3G. Anak-anak Pak Hanif hanya bisa liburan ke Bali bila masa libur panjang tiba. Kasihan mereka, karena begitu miskinnya, mobil yang mereka miliki hanya digunakan oleh Pak Hanif untuk berangkat kerja, sedang anak2 mereka hanya menggunakan sepeda motor saat berangkat kerja. Aku pingin membantu keluarga miskin itu, tapi Papiku selalu melarangku keluar rumah../ceritanya sudah saya singkat dan edit)

Kawan, begitulah gambaran kesalahan kita berempati, kita merasa tahu betul apa yang dibutuhkan oleh saudara2 kita yang miskin, padahal tidak. Kita yang terbiasa hidup dalam dunia glamour tiba-tiba harus merasa terharu dan berbelasungkawa. Begitulah konsep BLT yang pernah dilakukan pemerintahan SBY, bagi pemerintah, rakyat dicekoki uang recehan akan senang dan diam, ternyata, efeknya luar biasa buruk, banyak yang pingsan, tersiksa dengan antrian, belum lagi disunat sana sini.

Saya ingin bercerita panjang, tapi untungnya, sudah tersedia di hadapan saya sebuah lagu karya Ebiet G Ade, seorang bintang yang menjadi salah satu inspirasi saya dalam berkarya, Judulnya "Berjalan Diam-diam" begini syairnya....

berjalan diam2 ternyata banyak makna, setiap sudut dapat aku lihat
semua yang tersembunyi serta merta kubuka, kotor berdebu, kumuh dan kusam
seperti apa adanya...

Angin menampar-nampar, membuatku terperangah
aku terhenti di kaki bukit
Ranting kering kerontang, patah berderak-derak
Sejuta anak sakit dan lapar..
Menari-nari di mataku, bernyanyi-nyanyi di jiwaku..

Gemuruh tanah runtuh menimpa kepala, seiring jerit ngilu menyayat..
Gemuruh gumam doa, gerimis air mata, simpati hanya lewat jendela

Terlampau jauh untuk diraih..
Bunga-bunga karang, merenda buih air, pecahkan gelombang
Mereka terus merangkak, menggapai batang angin, kita tak melihat...
Mari kita bersama-sama berkaca..lihat luka bernanah di wajah kita..
Berjalan diam-diam ternyata lebih bermakna..semuanya.. berbicara.. sejujurnya..


Sahabat...maukah kita...beranikah kita....untuk menegakkan dada, memukul tambur dan berjanji dalam hati...bahwa menapaki tahun baru 2011, kita sama-sama canangkan sebagai tahun "BERBAGI UNTUK SESAMA DENGAN EMPATI YANG SEBENARNYA". Kita tidak berharap apalagi berdoa bahwa di tahun 2011 dan seterusnya bencana akan menimpa kita, tapi kita tak pernah tahu, skenario Tuhan buat hidup kita dan bangsa ini. Yang kita butuhkan adalah kesiapan kita untuk sewaktu-waktu siap dan ikhlas menerima kenyataan bahwa musibah akan melanda kita. Tak cukup dengan air mata, tapi kita butuh kebersamaan dengan saling menghargai dan berbagi. Selanjutnya sebagai kata akhir, saya hanya ingin mengucapkan dari lubuk hati terdalam SELAMAT TAHUN BARU 2011, semoga berkah Tuhan menyelimuti hidup kita selamanya.


R. Muttaqin

Tidak ada komentar:

Entri Populer